Sejarah

Sejarah Kuningan, Sudah Ada Sejak 3.500 SM, Jadi Kerajaan Dipimpin Putra Sunan Gunung Jati

Bupati Kuningan, Acep Purnama dan istri. (Dok Diskominfo Kabupaten Kuningan)
Bupati Kuningan, Acep Purnama dan istri. (Dok Diskominfo Kabupaten Kuningan)

KUNINGAN – Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Kuningan baru saja merayakan Hari Jadi ke-524 Kuningan. Daerah di kaki Gunung Ciremai itu telah melewati sejarah panjang, bahkan sejak ribuan tahun sebelum masehi.

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kuningan pun telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor: 21/DP.003/XII/1978 tanggal 14 Desember 1978 tentang Sejarah Dan Hari Jadi Kuningan.

Berdasarkan peraturan daerah tersebut, sejarah Kuningan disusun sejak mulai ada tanda-tanda pemukiman atau perkampungan yang telah mempunyai pemerintahan hingga perkembangannya sampai sekarang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sejarah Hari Jadi Kuningan disampaikan oleh Sekda Kabupaten Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, dalam Sidang Paripurna Istimewa DPRD Hari Jadi ke-524 Kuningan, di Gedung DPRD Kuningan, Kamis (1/9/2022).

Berdasarkan jejak sejarahnya, kira-kira 3.500 tahun sebelum masehi, di Kuningan sudah ada permukiman masyarakat yang mencapai tingkat kebudayaan yang relatif sudah maju. Hal itu berdasarkan atas hasil peninggalan yang ditemukan di wilayah Kuningan.

Suatu permukiman masyarakat dimaksud, baru terwujud dalam bentuk suatu kekuatan politik seperti negara, sebagaimana dituturkan dalam cerita Parahiyangan dengan nama “Kuningan” pada 11 April 732 M.

Negara/kerajaan Kuningan tersebut terjadi sesudah penobatan Seuweukarma sebagai raja/kepala pemerintahan, yang kemudian bergelar Rahiangtang Kuku atau disebut juga Sang Kuku, yang bersemayam di Arile dan Saunggalah. Seuweukarma menganut ajaran “Dangiang Kuning” yang berpegang kepada “Sanghiang Darma” dan “Sanghiang Siksa”, yang memberikan 10 pedoman hidup, yaitu :

Tidak membunuh mahluk hidup, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak mabuk, tidak makan bukan pada waktunya, tidak menonton, menari, menyanyi dan bermain musik, tidak mewah dalam berbusana, tidak tidur ditempat yang empuk, tidak menerima emas dan perak.

Seuweukarma bertahta sampai dengan usia yang cukup panjang. Setelah itu timbul persaingan antara pemerintahan Seuweukarma dengan Sanjaya, yang memegang kekuasaan daerah kerajaan Galuh sebelah timur.

Setelah Sanjaya memerintah Kuningan selama sembilan tahun, kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Rahiang Tamperan. Rahiang Tamperan mempunyai dua orang putra, yaitu Sang Manarah dan Rahiang Banga.

Setelah dewasa, Sang Manarah menjadi raja di sebelah timur. Sedangkan Rahiang Banga, menguasai daerah Kuningan, yang dahulu dibawah kekuasaan Rahiangtang Kuku.

Pada 22 Juli 1175 Masehi, Kuningan dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Sunda dibawah Rakean Darmasiksa, putra ke-12 Rahiang Banga. Setelah bertahta selama 12 tahun di Saunggalah, keraton kemudian dipindahkan oleh Rakean Darmasiksa ke Pakuan Pajajaran.

Selanjutnya, Kuningan merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran dan namanya berganti menjadi Kajene yang ada dibawah kekuasaan Aria Kamuning. Kajene artinya “kuning” atau “emas”.

Dalam rangka penyebaran agama Islam, seorang ulama besar dari Caruban (Cirebon) yang benama Syekh Maulana Akbar pernah singgah di Buni Haji daerah Luragung. Ulama tersebut kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Kajene, yang pada waktu itu penduduknya masih menganut agama Hindu.

Syekh Maulana Akbar mendirikan pesantren di Sidapurna yang berkembang pesat. Karena pengikutnya bertambah banyak, maka sang ulama membuat permukiman baru dengan dasar Islam yang diberi nama Purwawinangun (artinya: mula-mula dibangun).

Syekh Maulana Akbar meninggal dan dimakamkan di Astana Gede.

Pada 1481 M, Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati, datang di Luragung. Pada waktu itu, Ki Gedeng Luragung sebagai kepala pemerintahan yang kemudian masuk agama Islam.

Pada waktu yang bersamaan, datanglah Putri Ong Tien dari Cina menyusul ke Luragung. Syarif Hidayatullah kemudian melangsungkan pernikahan dengan Putri Ong Tien, yang berganti nama menjadi Ratu Mas Rara Sumanding.

Syarif Hidayatullah dan istrinya Ong Tien, pada waktu itu sepakat untuk mengangkat putra Ki Gedeng Luragung yang masih bayi, menjadi putra mereka, yang diberi nama Sang Adipati. Syarif Hidayatullah bersama Ong Tien dan putra angkatnya kemudian berangkat menuju Kajene.

Pada saat itu, yang menjalankan pemerintahan Kajene adalah Pangeran Aria Kamuning yang menganut agama Hindu dan kemudian masuk agama Islam.

Sang Adipati pun dipercayakan kepada Pangeran Aria Kamuning untuk dididik dengan baik. Selama Sang Adipati belum dewasa, maka Pangeran Aria Kamuning ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati sebagai kepala pemerintahan perwalian di Kajene dibawah Kerajaan Cirebon.

Setelah Sang Adipati dewasa, tepatnya pada 1 September 1498 M, Sang Adipati dinobatkan menjadi kepala pemerintahan Kajene yang bergelar Sang Adipati Kuningan.

Dengan berdirinya negara/kerajaan Kuningan dibawah Sang Adipati Kuningan, maka sejak tanggal penobatannya, daerah yang semula bernama Kajene, dikembalikan lagi ke nama aslinya yaitu ‘’Kuningan”. Sejak saat itulah, 1 September ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan.

Selain dibantu oleh Aria Kamuning dalam mengatur jalannya pemerintahan, Sang Adipati Kuningan juga dibantu oleh Dipati Ewangga atau disebut Dipati Cangkuang dan Rama Jaksa. Dipati Ewangga memiliki kuda tunggangan yang diberi nama Si Windu.

Untuk lebih meresapkan agama Islam di kalangan penduduk Kuningan, Sunan Gunung Jati mengirim Syekh Rama Haji Irengan dan dia memilih tempat kediamannya di Darma. Dengan bantuan para wali, dia membuat kolam (balong) yang sekarang dikenal dengan nama Balong Kancra atau Balong Kramat atau Darma Loka.

Sang Adipati Kuningan bersama pasukan Kuningan dibawah pemerintahan Cirebon, telah turut serta bertempur untuk menundukan Galuh. Selain itu, membantu mendirikan pemerintahan Wiralodra di Indramayu dibawah pimpinan Fatahillah Cirebon.

Pasukan Kuningan juga ikut menggempur Sunda Kelapa dan turut serta mendirikan pemerintahan Jayakarta. Pasukan dari Kuningan pun ada yang menetap di Jayakarta dan sekarang nama Kuningan terukir menjadi nama salah satu kelurahan di wilayah Jakarta Selatan yaitu Kelurahan Kuningan. (Lilis Sri Handayani)