Jogregan

KH Abdul Chalim Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Bupati Majalengka : Kado Terindah

Bupati Majalengka, Karna Sobahi. (Dok Diskominfo Kabupaten Majalengka)
Bupati Majalengka, Karna Sobahi. (Dok Diskominfo Kabupaten Majalengka)

MAJALENGKA – Gelar pahlawan nasional yang dianugerahkan kepada KH Abdul Chalim mengundang rasa bangga pada masyarakat dan Pemkab Majalengka. Putra daerah Majalengka itu telah memberikan sumbangsih yang besar bagi Indonesia.

‘’Gelar pahlawan nasional kepada KH Abdul Chalim sebagai pejuang dari NU merupakan kado terindah dan terbaik untuk kita semua masyarakat Majalengka saat momen peringatan hari Pahlawan,’’ ujar Bupati Majalengka, Karna Sobahi, saat puncak peringatan Hari Pahlawan ke-78 tahun 2023, di halaman Pendopo Gedung Negara , Jumat ( 10/11/2023).

Karna berharap, hal itu dapat menjadi teladan bagi masyarakat Majalengka, khususnya warga nahdiyin dan rakyat Indonesia secara umum. Dengan dianugerahinya KH Abdul Chalim, maka Kabupaten Majalengka sudah memiliki dua orang tokohnya yang menjadi pahlawan nasional.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

‘’Dan ini menginspirasi kita untuk terus semangat memperjuangkan kebaikan bagi daerah, bangsa dan negara,’’ tutur Karna.

Kabid Pemberdayaan Sosial dan Penanganan Fakir Miskin Dinas Sosial Kabupaten Majalengka, Mumu Hermawan, menyebutkan, penganugerahan pahlawan nasional kepada KH Abdul Chalim Leuwimunding itu didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres ) Nomor : 115 / TK / 2023 tentang Penganugrahan Gelar Pahlawan Nasional, pada 6 Nopember 2023.

KH Abdul Chalim diketahui lahir di Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, pada 2 Juni 1898. Dia merupakan putra dari seorang kepala desa bernama Kedung Wangsagama dan ibunya bernama Satimah.

Kakeknya juga seorang Kepala Desa Kertagama, putra dari Buyut Liuh yang merupakan putra seorang Pangeran Cirebon. Bila ditelusuri silsilah KH. Abdul Chalim bersambung kepada Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

KH Abdul Chalim sudah mendalami pendidikan agama dari usia remaja. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah H I S (Hollandsch Inlandsche School), dia belajar di beberapa pesantren di wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh, di antaranya Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar. Hingga 1913, dia melanjutkan pendidikannya di Makkah.

Sepulangnya dari Makkah, KH Abdul Chalim bergabung dengan temannya, KH Abdul Wahab Hasbullah, yang memiliki komitmen untuk memerdekakan Indonesia. Dia membantu menangani dan mengelola organisasi-organisasi yang telah dirintis oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, yaitu Nahdlatul Wathan yang kemudian menjadi Syubbanul Wathon.

Saat mendirikan Subbanul Wathon itulah, KH Abdul Chalim bersama dengan KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk Komite Hijaz. Tujuannya, untuk mengorganisasikan ulama-ulama di Jawa dan Madura demi mencapai kemerdekaan Indonesia.

KH Abdul Chalim menulis surat undangan kepada seluruh ulama pesantren di Jawa dan Madura untuk hadir pada pertemuan yang diselenggarakan Komite Hijaz pada 31 Januari 1926. Isi surat yang menekankan pada tujuan kemerdekaan Indonesia itu mendapat respon yang luar biasa dari para ulama sehingga sebanyak 65 ulama hadir dalam pertemuan tersebut.

Komite Hijaz itu pada akhirnya mendorong tercapainya kesepakatan di antara para ulama untuk mendirikan Nahdlatul Ulama dengan KH Hasyim Asyari sebagai Rais Aam dan KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai Katib awal. Sedangkan KH Abdul Chalim menjadi Katib Tsani (Sekretaris kedua) pada kepengurusan PBNU periode pertama.

KH Abdul Chalim juga merupakan pembina kerohanian organisasi semi militer Hizbullah, pendiri Hizbullah untuk wilayah Majalengka dan Cirebon, serta pejuang Hizbullah di beberapa medan pertempuran yaitu Cirebon, Majalengka, dan Surabaya.

Dengan semangat dan perjuangannya, KH Abdul Chalim dikenal sebagai Muharrikul Afkar yang artinya penggerak dan pembangkit semangat perjuangan. Dia juga pernah mendapat sebutan “Mushlikhu Dzatil Bain” (pendamai dari kedua pihak yang berselisih) karena sering mendamaikan para ulama yang bersitegang. Dia juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

KH. Abdul Chalim wafat di Leuwimunding pada 12 Juni 1972. Kini, namanya diabadikan menjadi nama perguruan tinggi di Mojokerto, yaitu “Institut Pesantren KH Abdul Chalim Mojokerto” yang kini sedang berproses menjadi Universitas Pesantren KH Abdul Chalim Mojokerto. (lilis sri handayani)