Begini Cara Nabi Muhammad SAW Ungkapkan Atas Rasa Syukur kepada Allah

Tajug  
Kaligrafi Nabi Muhammad SAW. (Dok. Republika
Kaligrafi Nabi Muhammad SAW. (Dok. Republika

INDRAMAYU -- Dalam penggunaan umum, rasa syukur kepada Allah diartikan sebagai mengabdikan semua yang telah Allah berikan kepada umatnya untuk tujuan penciptaan makhlukNya.. Oleh karena itu, rasa syukur melampaui ucapan pada keadaan yang terwujud dalam karakter seseorang.

Allah SWT menjelaskan bahwa kualitas pengabdian spiritual yang langka ini sama sekali tidak terbatas pada ucapan: "Bekerjalah, hai keluarga Daud, sebagai rasa syukur. Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang bersyukur". (QS. Saba: 34:13).

Syukur telah disebutkan lebih dari tujuh puluh kesempatan berbeda dalam Alquran. Allah SWT memuji hamba-hamba yang bersyukur dan menjanjikan mereka pahala yang menyenangkan. Dia juga melarang kita melakukan hal yang sebaliknya. Penekanan pada rasa syukur ini menunjukkan betapa pentingnya hal ini. (Akhlaq an-Nabi fil Kitab was-sunnah)

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kualitas orang-orang beriman yang terbaik

ini adalah kualitas yang Allah sebutkan untuk membedakan para nabi-Nya dan hamba-hamba-Nya yang disayangi. Allah berfirman tentang Nuh as: "Wahai keturunan orang-orang yang Kami bawa [dalam kapal] bersama Nuh. Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang bersyukur (shakur).} (QS. Al-Isra: 17: 3)

Ayat ini menggunakan bentuk “shakur” untuk menunjukkan penegasan penekanan kualitas ini pada diri Nabi Nuh as. Dia juga menggambarkan Ibrahim as: "[Dia] mensyukuri nikmat-Nya. Allah memilihnya dan memberinya petunjuk ke jalan yang lurus:. (QS. An-Nahl: 16: 121)

Beliau juga mengatakan tentang Luqman: "Dan Sesungguhnya Kami telah memberikan Luqman hikmah [dan berkata], "Bersyukurlah kepada Allah." Dan barangsiapa yang bersyukur maka ia mensyukuri [kemanfaatan] dirinya sendiri." (QS. Luqman: 31: 12).

Imam bin Katsir menafsirkan: Artinya, "Kami perintahkan dia untuk mensyukuri nikmat yang Kami anugerahkan kepadanya yang membedakannya dengan orang-orang pada zamannya” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azeem).

Oleh karena itu, contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa rasa syukur merupakan sifat utama yang disampaikan dan dilakukan oleh seluruh Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW yang tercinta, yang bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (Ahmad).

“Adapun orang-orang beriman, derajatnya berbeda-beda dalam menunaikan kewajiban bersyukur. Perbedaan derajat ini berkorelasi dengan kesadaran mereka akan nikmat tersebut dan aktualisasi mereka akan hakikat pengabdian kepada Allah.

Oleh karena itu, siapa pun yang melakukan kualitas ini dengan cara yang diridhai Allah, maka dia mendapat kehormatan untuk mendapat pujian ilahi secara umum {Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur}.”(Akhlaq an-Nabi fil Kitab was-sunnah).

Jamaah haji mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah SAW usai jalankan ibadah haji. (Dok. Republika)
Jamaah haji mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah SAW usai jalankan ibadah haji. (Dok. Republika)

Ucapan syukur Nabi Muhammad SAW

Seluruh kehidupan Nabi kita tercinta (damai dan berkah besertanya) dapat dipandang sebagai perwujudan rasa syukur yang sebesar-besarnya.

Barangsiapa yang memperhatikan akhlaknya, perkataannya, perbuatannya, dan seluruh gaya hidupnya, wajib mengakui bahwa ia adalah hamba yang sungguh-sungguh bersyukur kepada Penciptanya.

`A'ishah radhiyallahu 'anhu berkata: "Rumah tangga Muhammad (damai dan berkah besertanya) tidak pernah mengisi perut mereka dengan roti gandum dua hari berturut-turut sampai hari kematiannya” (Shama’il At-Tarmidzi).

Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu berkata: “Nabi Allah (damai dan berkah besertanya) meninggal tanpa meninggalkan satu dinar (koin emas) atau satu dirham (koin perak)

Demi Allah, malam-malam akan berlalu di rumah Muhammad (damai dan berkah besertanya), dan mereka tidak akan mendapatkan makan malam” (Ahmad).

Anas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan: "Kami berada di sisi Nabi Allah (damai dan berkah besertanya) sementara `Umar berada di hadapannya. Nabi sedang berbaring di tempat tidur yang terbuat dari daun lontar, dan di bawah kepalanya ada bantal; tidak ada pembatas antara sisi tubuhnya dan daun lontar. Ketika dia melakukan sedikit gerakan, terlihat jelas bahwa telapak tangannya mengenai sisi tubuhnya.

Maka, `Umar mulai menangis, dan Nabi (damai dan berkah besertanya) bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Dia berkata: “Bagaimana mungkin aku tidak menangis ketika mengetahui bahwa engkau lebih disayangi Allah daripada Kaiser dan Kaisar. Namun, mereka menjalani kehidupan yang begitu mewah di dunia ini”.

Maka, Nabi SAW bersabda: “Wahai Umar, tidakkah engkau akan senang jika akhirat menjadi milik kita dan hidup ini untuk mereka?” (Al-Hafiz Al-Asbahani, Akhlaq An-Nabi wa Adabuh. Kutipan hadis terakhir juga terdapat dalam Sahih Muslim).

Mengungkapkan rasa syukur melalui ibadah

Nabi SAW menunjukkan rasa syukur yang sebesar-besarnya dalam ibadahnya kepada Allah. Beliau salat sebagian besar malamnya sepanjang tahun, dan rasa syukurnya bahkan akan bertambah ketika mendapat karunia ilahi yang istimewa.

A'ishah meriwayatkan: Ketika memasuki sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW akan menghidupkan malam itu dalam ibadah dan membangunkan keluarganya ” (HR Bukhari dan Muslim)

A'isha juga meriwayatkan: "Ketika Nabi (damai dan berkah besertanya) shalat (sholat malam: Qiyam-ul-layl), dia akan berdiri sampai (kulit) kakinya membengkak. Jadi saya bilang:

“Wahai Nabi Allah, apakah kamu melakukan hal tersebut padahal Allah telah mengampuni segala kesalahanmu?”

Beliau menjawab: “Bukankah aku harus menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Muslim)

Imam bin Hajar mengomentari hadits tersebut: Artinya, "Karena aku sudah diampuni segala kesalahanku, maka inilah alasan shalat malam sebagai wujud rasa syukur kepada Allah, lalu bagaimana aku bisa meninggalkannya? Imam Al-Qurtubi menjelaskan:

Mereka yang menanyakan pertanyaan ini berasumsi bahwa dia menanggung beban tersebut dalam beribadah kepada Allah karena takut akan dosa dan berharap ampunan. Maka beliau menjelaskan kepada mereka bahwa ada jalan ibadah lain yaitu mengucap syukur atas ampunan. Para ulama berkata: Para nabi sangat takut kepada Allah karena pengetahuan mereka akan nikmat-Nya yang begitu besar atas mereka.” (Ibnu Hajar, Fath El-Bari)

Ibnu Battal berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang harus mengambil jalan yang lebih keras dalam mengabdi, meskipun hal itu mungkin merugikan tubuhnya karena jika Nabi (damai dan berkah besertanya) melakukan hal itu sambil yakin bahwa dia telah diampuni, maka bagaimana seharusnya keadaan orang yang tidak mempunyai kepastian itu, apalagi orang yang tidak yakin akan masuk neraka.” (Ibid)

Keseimbangan itu Diperlukan

Namun perlu diperhatikan bahwa Imam Ibnu Hajar memodifikasi pemahamannya terhadap pernyataan Ibnu Battal: “Pola pikir ini hendaknya sedemikian rupa sehingga tidak membuat seseorang menjadi bosan dan mundur dari ibadah, karena kondisi Rasulullah SAW paling lengkap dan beliau tidak pernah mundur dari beribadah kepada Tuhannya.

Jadi, jika seseorang takut akan kebosanan dan kemunduran, ia tidak boleh memaksakan diri melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu nabi (damai dan berkah besertanya) bersabda, “Ambillah perbuatan yang mampu kamu tahan ” (Ibid. Dengan sedikit ringkasan dari kutipan aslinya)

Hubungan khusus dengan Allah SWT

Contoh rasa syukur Nabi yang lain adalah beliau memohon ampun kepada Allah setelah menunaikan shalat lima waktu: “Beberapa orang mempertanyakan bagaimana dia meminta maaf padahal dia diampuni, dan Imam ibn Sayyid An-Nas menjawab:

“Hal ini menunjukkan kesetiaannya terhadap kewajiban ibadah dan amalan syukurnya, sehingga dia dapat memperjelas Sunnahnya dengan perbuatan seperti yang dia lakukan dalam ucapan.” (Al-Mubarkaafuri, Tuhfat Al-Ahwazi Sharh Sunan At-Tirmizi)

Demikian pula, diriwayatkan bahwa ia mencari perlindungan kepada Allah dari siksa kubur. Jika timbul pertanyaan mengapa ia mencari perlindungan padahal ia sudah mendapat jaminan perlindungan, jawabannya adalah:

“Dia melakukannya untuk menunjukkan kebutuhannya akan Allah, untuk mengakui nikmat-Nya dan untuk mengungkapkan rasa syukurnya atas nikmat yang terus diperbarui.

Seseorang yang mendapat nikmat yang begitu besar dari Allah SWT, hendaknya menerima nikmat tersebut dengan rasa syukur yang sangat besar. Ketaatan seseorang kepada Allah sesuai dengan pengetahuannya terhadap-Nya.” (Ibnu Battal, Sharh Sahih Al-Bukhari, dengan sedikit ringkasan)

Menebar syukur

Syukur bukan hanya sesuatu yang dipraktikkan dan diakui oleh Nabi kita tercinta (damai dan berkah besertanya); sebaliknya, itu adalah kualitas yang dia tanamkan pada teman-temannya.

Pada suatu kesempatan, Nabi (damai dan berkah besertanya), Abu Bakar dan `Umar (ra dengan mereka) meninggalkan rumah mereka dalam keadaan lapar. Mereka dijamu oleh seorang laki-laki dari Al-Ansar yang menawari mereka sebatang kurma dan mereka memakannya sampai rasa lapar mereka hilang. Pada saat itu Nabi tercinta (damai dan berkah besertanya) membacakan: "Maka sesungguhnya pada hari itu kamu akan ditanya tentang kesenangan". (QS: At-Takathur: 102: 8)

Dia berkata kepada Abu Bakar dan Umar: “Inilah salah satu nikmat yang akan ditanyakan kepadamu” (Al-Hafiz Al-Asbhani, Akhlaq An-Nabi wa-adabuh)

Teladan kenabian ini telah mendarah daging dalam diri para sahabat akan keberkahan Ilahi. Berkat-berkat seperti itu sering kali diabaikan sebagai hal yang perlu atau diharapkan di mata mereka yang kurang sadar secara rohani. Namun kesadaran itulah yang akan memudahkan jalan menuju tingkat rasa syukur yang lebih tinggi.

Hal ini pada akhirnya akan membawa orang beriman menjalani kehidupan yang unggul (ihsan). Mereka akan terus-menerus merasa bahwa Allah mengawasi urusan kita. Mereka bahkan menyaksikan Dia dalam nikmat-Nya yang tak terhitung banyaknya dalam penciptaan langit dan bumi.

Oleh karena itu, jalan kita untuk mewujudkan keteladanan kenabian adalah dengan terlebih dahulu menyadari cakupan syukur yang komprehensif, keutamaannya di mata Allah, dan kaitannya dengan ajaran agama lain.

Bagaimana Meningkatkan Rasa Syukur kita

Rasa syukur kita dapat ditingkatkan dengan membangun kesadaran kita akan Allah dan kedaulatan-Nya atas urusan kita. Buah dari kesadaran mulia tersebut harus terlihat jelas dalam kehidupan pribadi dan sosial seseorang sebagaimana terlihat dalam kehidupan hamba-hamba Allah yang dikaruniai. Allah berfirman:

"Dan [ingatlah] ketika Tuhanmu berfirman, 'Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambahi kamu [nikmat]; tetapi jika kamu mengingkari, sesungguhnya azab-Ku pedih.'". (QS: Ibrahim: 14:7)

Dan Dia juga bersabda: "Jadi ingatlah Aku; Saya akan ingat Anda. Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari Aku". (QS. Al-Baqarah: 2:152) n Agus Yulianto

Sumber:

https://aboutislam.net/spirituality/prophet-muhammad-practical-image-islam/

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image