Semarak Ramadhan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon: Warisan dan Wasiat

Tajug  
Suasana di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon. (Dok. Republika)
Suasana di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon. (Dok. Republika)

CIREBON -- Penyebaran Islam di tanah Jawa, khususnya Cirebon, tak bisa dilepaskan dari peran Syekh Syarif Hidayatullah. Salah satu Wali Sanga yang di kenal dengan nama Sunan Gunung Jati itupun meninggalkan banyak jejak penyebaran Islam. Salah satunya adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Di masjid yang merupakan masjid tertua di Jabar itu, Sunan Gunung Jati mewariskan banyak tradisi yang terus terpelihara sejak kini. Di antaranya, tradisi tahlilan yang diselenggarakan setiap malam Jumat. Selain itu, adapula kegiatan marhabanan.

Khusus pada bulan suci Ramadhan, di Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga diadakan tadarus Alquran. Selama Ramadhan, tadarus Alquran mengalami tiga kali khataman. Tradisi dug dag juga berlangsung selama bulan Ramadhan. Tradisi penabuhan bedug itu dimaksudkan sebagai pemberitahuan kepada masyarakat mengenai datangnya puasa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sunana Gunung Jati juga memberikan banyak wasiat. Salah satunya, "Ingsun titip tajug lan fakir miskin" (saya titip mushala/masjid dan fakir miskin).

Dengan adanya wasiat itu, umat Islam diminta un tuk selalau menjaga kemakmuran masjid/mushala dan menyantuni fakir miskin. Wasiat itu seperti yang selama ini dijalankan keluarga keraton sebagai keuturnan Sunan Gunung Jati. Keluarga keraton selalu membagikan 'sesuatu' (sembako) pada fakir miskin.

Ya, nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, ternyata memiliki makna tersendiri. Nama itu diambil dari kata sang yang berarti ‘keagungan’, cipta, yakni ‘dibangun’, serta rasa atau ‘digunakan.’ Ringkasnya, nama tersebut bermakna ‘bangunan agung yang dibangun untuk digunakan umat Islam.’

Tujuh orang muadzin mengumandangkan adzan pertama pada salat Jumat di Masjid Agung Kasepuhan (Sang Cipta Rasa) Cirebon Jawa Barat. (Dok. Republika/Antara)
Tujuh orang muadzin mengumandangkan adzan pertama pada salat Jumat di Masjid Agung Kasepuhan (Sang Cipta Rasa) Cirebon Jawa Barat. (Dok. Republika/Antara)

Pemilihan namanya mencerminkan tingginya rasa toleransi yang ditunjukkan Wali Songo. Mereka tidak memilih nama yang kearab-araban, tetapi justru mengutamakan unsur lokal. Dengan begitu, pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa ajaran Islam dapat mengakar dan tumbuh berkembang di tengah masyarakat setempat.

Dikutip dari buku 'Masjid-masjid Bersejarah dan Ternama Indonesia', berbeda dengan umumnya masjid-masjid klasik di Pulau Jawa, Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki atap yang nonkemuncak. Bentuk limasan susun tiga itu disebut pula sebagai lambang-teplok.

Keindahannya menginspirasi banyak orang, termasuk Thomas Karsten. Arsitek Hindia Belanda ini mendesain Museum Sonobudoyo dengan mencontoh corak pada bangunan di Cirebon tersebut.

Ada 12 saka guru atau pilar utama yang menyangga atap masjid tersebut. Antara satu dan yang lainnya terhubung dengan balok-balok melintang. Masing-masing ikatannya menggunakan pasak. Uniknya, salah satu tiangnya terbuat dari serpihan-serpihan kayu yang disusun dan diikat.

Tiang tersebut disebut pula sebagai sokotatal. Ada makna filosofis di balik tiang sokotatal, yakni bahwa persatuan yang kokoh bisa menopang beban seberat apa pun. Mengenai pembuatnya, terdapat beberapa sumber. Ada yang mengatakan, Sunan Kalijaga-lah kreatornya. Namun, ada pula yang menyebut Sunan Gunung Jati.

Ruang shalat utama memiliki luas 17,8x 13,3 m persegi. Untuk memasukinya, jamaah dapat melalui satu dari sembilan pintu—semuanya melambangkan jumlah Wali Songo. Di dalamnya, terdapat mihrab dengan ukiran-ukiran bermotif bunga teratai, hasil kreasi Sunan Kalijaga.

Munculnya motif teratai juga menunjukkan adaptasi seni arsitektur Hindu. Masih di bagian mihrab, ada tiga buah ubin dengan tanda khusus pada masing-masingnya yang mengisyaratkan pokok-pokok agama, yaitu iman, Islam, dan ihsan.

Jamaah yang hendak mencapai ruang utama, harus melalui pintu kecil dan pendek. Alhasil, mereka mesti membungkukkan badan. Ini mengandung makna simbolis bahwa seorang Muslim harus merendahkan diri ketika beribadah. Jangan sampai hati diliputi sifat sombong atau riya. n Agus Yulianto

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image