Tajug

Puasa Sebagai Pendisiplin Nafs (Bagian-2)

Meluapkan amarah. (Ilustrasi) - (Dok. Republika/Google)
Meluapkan amarah. (Ilustrasi) - (Dok. Republika/Google)

INDRAMAYU -- Puasa memampukan orang mukmin untuk meninggalkan dosa-dosa yang dilakukan inderanya dan memanfaatkannya dalam ibadah khusus masing-masing. Misalnya, daripada menggunakan lidah untuk berbohong, menggunjing, dan mengumpat, melalui puasa, orang-orang beriman menggunakannya dengan membaca Alquran, mengagungkan Tuhan, memohon ampun kepada-Nya, dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Nabi SAW meriwayatkan dari Tuhannya: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberikan pahala atasnya, sebagaimana dia (orang yang menjalankan puasa) meninggalkan nafsu seksualnya, makanan dan minumannya demi Aku. Puasa itu adalah layar (dari Neraka) dan ada dua kenikmatan bagi orang yang berpuasa, satu pada saat berbuka, dan satu lagi pada saat ia akan bertemu Tuhannya. Dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada bau musk.” (Bukhari, Shahih, Tauhid, 35).

Nafs manusia paling baik dilatih dan didisiplinkan dengan berpuasa. Meski sulit dijalankan, puasa menguatkan daya kemauan dan menyucikan jiwa. Melalui kesulitan dan penderitaan, orang-orang beriman naik ke derajat spiritual yang lebih tinggi, dan inilah sebabnya semua Rasul mengalami kesulitan dan penderitaan yang paling pedih.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Saat berpuasa umat islam mengalami rasa lapar dan haus namun hal ini menjauhkan mereka dari dosa dan rayuan setan. Sifat manusia adalah gabungan dari dua kekuatan yang berbeda: roh dan daging. Ketika mengikuti hawa nafsu jasmani, spiritualitas manusia berkurang, maka jika seseorang dapat mengendalikan hawa nafsunya dan menentang nafsu jasmani, maka ia menjadi lebih rohani.

Namun, saat ini orang-orang lebih dimanjakan oleh kesenangan duniawi dibandingkan sebelumnya dan mereka hidup untuk memuaskan hasrat duniawi mereka. Untuk bertumbuh secara spiritual mereka perlu berkorban dari kenikmatan kesenangan duniawi.

Dalam kaitan ini, puasa merupakan kesempatan emas bagi seseorang yang ingin maju secara rohani. Diri yang suka memerintah yang jahat (nafs al-ammarah) menganggap dirinya bebas dan tidak dibatasi. Bahkan bisa mengklaim ketuhanan seperti yang terlihat pada kepribadian Firaun.

Namun, ketika berpuasa di bulan Ramadhan, diri manusia memahami bahwa ada yang menciptakan, memberi nafkah, memelihara dan sebagainya. Jadi, melalui puasa, nafs meninggalkan tahap ketuhanan khayalan dan naik ke tingkat penghambaan. Sebab, ia paham jika Tuhan tidak memberi rezeki ia tidak bisa melakukan hal yang paling biasa sekalipun, seperti makan dan minum.

Menjalankan puasa di bulan Ramadhan mengalahkan nafsu duniawi dan ketuhanan ilusinya. Ketika nafsu daging tidak mengenal Tuhan Yang Maha Kuasa, puasa mematahkan keangkuhannya dan mengingatkannya bahwa ia pada dasarnya tidak berdaya karena itu ia adalah seorang hamba Tuhan.

Meski tidak dilaporkan melalui rantai penularan yang autentik, laporan berikut memberikan gambaran bagaimana nafsu duniawi dapat didisiplinkan melalui rasa lapar; ketika Tuhan bertanya kepada diri jasmani: “Siapakah Aku dan siapakah kamu?” Ia menjawab: “Engkau adalah Dirimu Sendiri, dan Aku adalah diriku sendiri.”

Betapapun beratnya Tuhan menghukumnya dan mengulangi pertanyaan-Nya, Dia menerima jawaban yang sama. Namun ketika Dia menjadikannya kelaparan, ia menjawab: “Engkaulah Tuhanku Yang Maha Pengasih; Aku adalah hamba-Mu yang tak berdaya.”

Kalau hawa nafsu tidak dilatih lewat rasa lapar, maka tidak bisa membeda-bedakan halal dan haram. Seseorang yang makan, minum dan bertindak semaunya akan sulit mengikuti prinsip-prinsip Islam. Melalui puasa, manusia melatih hawa nafsunya dan menjadikannya taat pada syariat Islam.

Jika seseorang dapat meninggalkan apa yang diperbolehkan karena puasa di bulan Ramadhan, maka dia dapat dengan mudah menahan diri dari apa yang dilarang. Jadi, karena berpuasa maka nafsu daging tidak dapat merusak kehidupan rohani pemiliknya. Dengan sabar menahan lapar yang berkepanjangan, orang beriman melatih disiplin diri dan menyembuhkan rasa tidak sabar serta lemahnya daya tahan tubuh.

Spiritualitas dan perut kenyang bekerja melawan satu sama lain. Orang menjadi kurang ruhani bila makannya banyak, karena anggota tubuh akan sibuk dengan perut dan lupa terhadap ibadahnya sendiri. Itulah sebabnya orang-orang shaleh lebih memilih lapar daripada lebih spiritual.

Puasa mengingatkan manusia bahwa dirinya tidak diciptakan hanya untuk makan dan minum. Melalui puasa mereka mengalami keadaan malaikat dan spiritual serta kemajuan menuju kesempurnaan spiritual. Sebab, puasa menyucikan hati, jiwa, akal, dan indera terdalam manusia.

Secara alamiah, kedagingan manusia tidak menyadari ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kecacatan yang melekat pada dirinya. Tanpa memikirkan akibat perbuatannya, ia menuruti kesenangan duniawi seolah-olah ia akan hidup selamanya.

Dalam keadaan ini ia lalai dan melupakan Penciptanya. Namun puasa mengingatkan manusia akan sifat aslinya dan membuat mereka merasakan kelemahan dan kemiskinan bawaannya. Kebutuhan akan kasih sayang dan perhatian pada diri mereka membuat mereka mencari perlindungan pada belas kasihan Tuhan. n Agus Yulianto

Sumber:

https://aboutislam.net/spirituality/spiritual-aspect-of-ramadan-and-fasting/