Apakabar Saritem?

Jogregan  
 Praktik prostitusi yang melibatkan artis papan atas (ilustrasi). (Dok. Republika/Reuters)
Praktik prostitusi yang melibatkan artis papan atas (ilustrasi). (Dok. Republika/Reuters)

Oleh: Agus Yulianto, Jurnalis Matapantura.republika.co.id

Nama 'Saritem' memang tidak asing lagi bagi warga Kota Kembang, Bandung. Dia pun tak lekang oleh waktu. Perjalanan Saritem sebagai tempat lokalisasi kian hari semakin menambah gerah sebagian masyarakat. Berbagai upaya protes untuk menutup Saritem pun dilayangkan kepada aparat terkait.

Bahkan, kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung, terus mendesak pemerintah segera mengambil sikap terkait mulai kembali maraknya praktik prostitusi di Gang Saritem, Kota Bandung. Pemerintah, dituntut serius 'menumpas' pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi yang tak begitu jauh dari balai kota tersebut.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Akhirnya, Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung No 11 Tahun 1995 tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (Perda K3) akhirnya terbit. Saritem pun resmi ditutup, tepatnya pada 17 April 2007.

Penutupan Saritem saat itu memang menuai protes dari kalangan yang merasa menggantungkan hidupnya dari lokasi itu. Misalnya, pekerja seks komersial (PSK), mucikari, dan pedagang.

Para santri Pondok Pesantren Daruttaubah yang berlokasi di Saritem, situs prostitusi tertua di Kota Bandung, tengah mengikuti pengajian kitab kuning, Jumat (15/4/2022). (Dok. Republika)
Para santri Pondok Pesantren Daruttaubah yang berlokasi di Saritem, situs prostitusi tertua di Kota Bandung, tengah mengikuti pengajian kitab kuning, Jumat (15/4/2022). (Dok. Republika)

Ironis memang, rata-rata yang berprofesi PSK itu berdalih terjun ke dalam bisnis esek-esek karena didorong oleh impitan ekonomi disertai minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan keahlian kerja (skill) dari PSK yang bersangkutan.

Namun belakangan ini, faktor impitan ekonomi bukanlah satu-satunya pendorong seseorang untuk terjun ke dalam bisnis esek-esek. Gaya hidup hedonistik disinyalir menjadi salah satu pendorongnya.

Ironisnya lagi, pelaku bisnis esek-esek itu tak hanya kalangan dewas, bocah-bocah yang masih 'bau kencur' pun terut terlibat di dalamnya. Mereka berpraktis sebagai pemuas nafsu pria hidup belang.

Polisi pun mewanti-wanti orang orang tua untuk selalu mengawasi anaknya secara ketat dalam pergaulan sehari-harinya. Bukan menjadi alasan saat mereka harusnya menikmati pendidikan, tapi justru terlibat bisnis haram tersebut.

Di Kota Bandung sendiri, jajaran Satreskrim Polrestabes Bandung terus melakukan razia Saritem yang pernah menjadi salah satu lokalisasi prostitusi terbesar di Tanah Air. Razia mengamankan muncikari dan puluhan pekerja seks komersial (PSK). Razia dilakukan atas dasar laporan masyarakat tentang satu rumah yang dijadikan tempat lokalisasi di Saritem.

Saritem pernah menjadi kawasan lokalisasi dan sempat ditutup. Namun, setelah dicek kembali, aktivitas lokalisasi masih ada, sehingga dilakukan penindakan.

Para PSK yang diamankan dihargai oleh muncikari sebesar Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu. Para muncikari mendapatkan keuntungan.

Dua orang muncikari dikenakan undang-undang no 21 tahun 2007 tentang tindak pidana orang dan KUHPidana. Sedangkan para PSK akan diserahkan kepada Dinas Sosial Kota Bandung untuk dibina.

Polisi masih terus melakukan pendalaman terkait praktik prostitusi yang sudah berlangsung berapa lama. Sementara Dinsos Kota Bandung mengatakan, para PSK yang menjadi korban akan direhabilitasi di panti yang dikelola Dinsos Jawa Barat. Namun, sebelum dilimpahkan terlebih dulu akan diasesmen.

Langkah ini untuk mengetahui, apakah para PSK sudah lama beroperasi kembali. Apalagi, mereka pun berasal dari luar Kota Bandung.

Pengawasan tinggalah pengawasan. Namun, aktivitas prostitusi di Saritem 'masih' berlangsung hingga kini.

Perlu pertimbangan matang serta solusi yang tepat pascapenutupan beberapa tahun silam, sehingga di kemudian hari, tidak muncul benih terselubung, seperti halnya kejadian teranyar di Saritem.

Bila tidak ditangani secara komprehensif, maka kasus PSK Saritem ini akan menyisakan spekulasi bahwa PSK masih tetap bisa beroperasi atau bermigrasi. Selain itu, juga harus diperhatikan problem sosial ikutan pascapenutupan tempat tersebut.

Problem sosial yang menyangkut hajat hidup orang banyak di sekelilingnya. Ini karena permasalahan sosial itu tidak berdiri sendiri.

Permasalahan tersebut muncul karena adanya sikap permisif yang semakin membudaya di tengah masyarakat.

Ini yang seharusnya semua pihak terilbat didalamnya, agar penanganan prostitusi yang tidak hanya melibatkan orang dewasa tapi juga anak-anak di bawah umur, bisa diatasi secara berkesinambungan.

Cegas sikap serbaboleh yang muncul akibat semakin merosotnya nilai agama. Sungguh ironis memang negeri kita ini tercatat mayoritas penduduknya Muslim, tapi keislaman yang tampak sebatas ritual belaka.

Maka, untuk memutus rantai pelacuran, dapat dilakukan dengan melakukan edukasi, penegakan sanksi yang tegas terhadap semua yang terlibat dalam lingkaran bisnis haram tersebut, penyediaan lapangan kerja yang halal dan memadai, adanya kontrol masyarakat sehingga pelaku maksiat mendapatkan hukuman sosial di masyarakat. Semoga. n Agus Yulianto

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image