Bisnis

Potret Generasi ke Depan Tergantung Keluarga, Ini Kata Wakil Presiden

 Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, negara dan bangsa. (Dok. Matapantura.republika.co.id)
Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, negara dan bangsa. (Dok. Matapantura.republika.co.id)

MATAPANTURA.REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, negara dan bangsa. Untuk itu, program pembangunan keluarga sejahtera menjadi sangat penting.

Penegasan itu disampaikan Wakil Presiden (Wapres) kepada wartawan usai memberikan keynote speech pada Rapat Kerja Nasional Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dan Percepatan Penurunan Stunting, di Auditorium BKKBN, Jakarta.

Wapres mengatakan, bila keluarga menjadi baik, maka bangsa juga akan baik. Sebaliknya, kalau keluarga tidak baik, maka bangsa akan menjadi tidak baik juga. Untuk itu, potret generasi ke depan akan ditentukan oleh keluarga.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Dari sinilah akan ditentukan generasi yang akan kita bangun nanti. Dan apakah bonus demografi yang kita miliki ini bisa kita bangun dengan baik, kita wujudkan menjadi sumber daya manusia yang membawa kepada tercapainya Indonesia maju atau tidak. Dan itu sangat tergantung dengan keluarga," urai Wapres.

Oleh karena itu, pemerintah sangat mendukung atau mendorong supaya program pembangunan keluarga sejahtera benar-benar sukses. Dan di dalam pembangunan sumber daya manusia itu, Wapres mengingatkan, salah satu yang penting adalah soal penurunan stunting. Saat ini pemerintah sedang berusaha agar di 2024 target 14% stunting dicapai.

Wapres mengatakan, bahwa awalnya target 14 persen capaian prevalensi stunting di 2024 dinilai sangat ambisius. Namun, berdasarkan perhitungan, pemerintah meyakini bisa dicapai, meski bangsa ini sempat menghadapi pandemi Covid-19, sehingga ada hambatan selama dua tahun di 2020-2022.

"Oleh karena itu, saya minta nanti supaya segera dievaluasi. Dan sampai hari ini kita baru punya data penurunan stunting tahun 2021 ke 2022 sebesar 21,6 persen. Di 2023 ini ada beberapa informasi yang sedang kita tunggu, dan berapa data capaian di 2024," ujarnya.

Wapres menjelaskan, di 2022 pemerintah bersama elemen masyarakat berhasil menurunkan prevalensi stunting sebesar 2,8 persen. "Nah, di 2023 targetnya turun 3,8 persen. Tetapi kita ingin hitung kembali, karena di 2022 kita sudah bisa mencapai 2,8 persen turunnya," terang Wapres.

Sementara itu, terkait data stunting, Kepala BKKBN, dokter Hasto mengatakan, data stunting agar dipadupadankan dulu antara data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dan data elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (ePPGBM).

Memadupadankan kedua data ini diperlukan karena data yang dihasilkan SKI ketika diterapkan di daerah ternyata banyak daerah yang tidak bisa menemukan kasus sebanyak yang ada di data SKI.

Adapun data yang ada di daerah, kata Hasto, adalah data ePPGBM. Data ini dihasilkan langsung dari penimbangan real count 'by name by address.

"Kemarin Pak Pj. Gubernur Banten juga membawa data riil. Data riil stunting di lapangan. Beliau menginformasikan ada 2.600 kurang lebih anak yang 'by name by address'. Ketika data SKI itu diproyeksikan 200.000 lebih yang masih ada di Banten, maka mencari anak stunting yang selisih data itu menjadi tidak gampang," ujar Hasto.

Oleh karena itu, ucap dia, data itu perlu di verifikasi dan validasi (verval). "Memadupadankan data itu melalui verval. Verval apa yang didapat di SKI. Kemudian apa yang didapat di ePPGBM. Semua data dari kepala daerah yang disampaikan adalah ePPGBM berbasis penimbangan," ujar dokter Hasto menambahkan.

Dokter Hasto mengatakan, di April ini BKKBN mendorong agar data penimbangan yang dilakukan di posyandu sudah mendekati 100 persen. Selanjutnya, data tersebut akan diinput juga ke Kementerian Kesehatan untuk diketahui Menteri Kesehatan. Ditargetkan bulan Mei mendatang sudah ada data masukan, dan harapannya cakupannya lebih dari 95 persen.

"Fenomena kesehatan itu kalau tidak ada bencana alam tidak akan berubah total. Contoh, kemarin (tahun 2022) penurunan prevalensi stunting 2,8 persen. Di 2023, sesuai SKI turun 0,5 persen. Kalau engga ada bencana mestinya tidak akan terjadi. Ini karena yang dinilai manusianya, populasi Indonesia sama, sasarannya juga sama, lokasinya juga sama, cara menilainya juga sama, alat ukurnya juga sama. Oleh karena itu, itulah pentingnya dilakukan verval," ujar Hasto. n Agus Yulianto