Anggaran Pendidikan tak Cukup, Operasional Tinggi, UKT Melonjak, Kampus Makin Eltis
MATAPANTURA.REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Melonjaknya uang kuliah tunggal (UKT) secara gila-gilaan, setiap tahunnya, menuai kritik dari berbagai kalangan. Kenaikan UKT ini diduga karena komunikasi antara pimpinan perguruan tinggi dengan mahasiswa dan dosen, tidak berjalan dengan baik.
Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai, UKT yang naik tiap tahun membuat kampus semakin elitis. Dia melihat, permasalahan tersebut timbul bukan semata-mata karena faktor perguruan tinggi.
Namun, anggaran pendidikan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak cukup untuk kebutuhan operasional perguruan tinggi. Sehingga perguruan tinggi menutupi kebutuhan operasional kampus dengan UKT.
"Ini jadi problem bersama. Perguruan tinggi hari ini makin mahal makin elitis, tapi tidak semata-mata salah pimpinan perguruan tinggi. Ini karena anggaran pemerintah terhadap perguruan tinggi tidak cukup untuk membiayai operasional pendidikan tinggi," ucap pengamat kebijakan pendidikan ini kepada wartawan di Bandung, Ahad (19/5/2024).
Terkait gejolak UKT, Cepdar--sebutan akrabnya--menduga, karena komunikasi antara pimpinan perguruan tinggi dengan mahasiswa dan dosen tidak berjalan dengan baik. Selain itu, kenaikan UKT tidak arif dan signifikan.
"Juga kenaikannya yang kurang arif terlalu signifikan berlipat lipat," kata dia.
Cepdar mengatakan, UKT seharusnya turun tiap tahun seiring keberpihakan pemerintah dalam pendidikan. Apalagi, perguruan tinggi mengenbangkan inovasi atau menjual intelektual kapital.
Dia mengatakan, anggaran pendidikan tinggi relatif masih kecil dibandingkan postur total anggaran yang mencapai Rp 660 triliun. Kata dia, anggaran pendidikan tinggi tidak sampai Rp 100 triliun atau hanya puluhan triliun.
Sedangkan satu sisi, jumlah perguruan tinggi negeri dan swasta sangat banyak mencapai ribuan. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan redesain anggaran pendidikan.
"Rp 660 triliun itu diperuntukkan pembiayaan sekolah dan kampus, jangan lagi masuk kepentingan gaji guru dosen dan lainnya," kata dia. n Agus Yulianto