Tajug

Aji Menjangan Wulung 'Pengamal Ilmu Hitam' Vs Adzan Pitu

Tujuh orang muazin mengumandangkan Azan sebelum shalat Jumat di Masjid Sang Cipta Rasa di Kompleks Keraton Kasepuhan, Cirebon. Tradisi Azan pitu yang dikumandangkan oleh tujuh orang muazin tersebut dipercaya sebagai pengangkal musibah - (Antara/Dedhez Anggara)
Tujuh orang muazin mengumandangkan Azan sebelum shalat Jumat di Masjid Sang Cipta Rasa di Kompleks Keraton Kasepuhan, Cirebon. Tradisi Azan pitu yang dikumandangkan oleh tujuh orang muazin tersebut dipercaya sebagai pengangkal musibah - (Antara/Dedhez Anggara)

Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan Kota Cirebon, Jawa Barat. Siapa yang tak kenal dengan bangunan sejarah yang didirikan pada era Wali Songo ini.

Kota di sebelah timur-laut Gunung Ciremai, ini, menjadi salah satu pusat dakwahnya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dan salah satu jejak peninggalan Wali Songo di kota seluas 37,36 km persegi ini ialah Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Kompleks tempat ibadah ini didirikan pada abad ke-15 M oleh para mubaligh Tanah Jawa tersebut. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsitek.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Di samping itu, Raden Sepat juga ditugaskannya untuk membantu sosok pemilik nama asli Bendara Raden Mas Said tersebut dalam menunaikan amanah. Sebelumnya, ahli bangunan Majapahit itu menjadi tawanan dalam perang Demak-Majapahit. Untuk menyelesaikan proyek ini, sekitar lima ratus orang pekerja dari Cirebon, Demak, dan Majapahit turut terlibat.

Menurut buku 'Masjid-masjid Bersejarah dan Ternama Indonesia', Masjid Agung Sang Cipta Rasa berdiri sejak 1498 M. Tarikh yang agak berbeda disebutkan dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia karya Abdul Baqir Zein. Menurutnya, situs bernilai historis ini telah ada mulai tahun 1480 M. Ada pula yang berpendapat berdirinya masjid itu terjadi pada 1478 M dan 1489 M.

Terlepas dari soal keterangan tahun berdirinya, masjid tersebut merekam memori sejarah dakwah Islam yang dilakukan para wali. Tidak mengherankan bila masyarakat setempat terus merawat tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Misalnya, budaya azan pitu.

Tradisi itu, harfiahnya, berarti 'mengumandangkan azan'. Namun, yang dimaksud bukan azan seperti biasa. Pasalnya, ada tujuh orang muazin sekaligus yang mengumandangkan panggilan shalat itu. Ada kisah yang melatari lahirnya kebiasaan kultural tersebut.

Konon, dahulu kala, ada seorang pendekar sakti mandraguna yang bernama Aji Menjangan Wulung. Pengamal ilmu hitam ini kerap kali mengganggu kaum Muslimin. Sebab, dirinya membenci agama Islam. Dari hari ke hari, kebenciannya itu kian akut.

Akhirnya, Aji Menjangan menjadikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa sebagai sasaran. Dia memanjat dinding dan bertengger di atas tempat ibadah ini. Setiap muazin yang hendak menyuarakan azan diserangnya.

Ini membuat kaum Muslimin yang hendak melaksanakan ibadah menjadi resah. Begitu mengetahui kejadian tersebut, Sunan Gunung Jati langsung mengundang para ulama setempat untuk bermusyawarah. Setelah memohon petunjuk Allah SWT, mereka pun menyepakati solusi.

Sunan Gunung Jati menunjuk tujuh orang untuk menjadi muazin serentak. Mereka ditugaskannya untuk mengumandangkan azan secara bersama-sama. Suara azan yang dilantunkan serempak itu menyebabkan Aji Menjangan kebingungan.

Pembuat onar ini hilang akal karena tidak tahu arah sumber suara. Akhirnya, sosok pembenci Islam tersebut lari terbirit-birit. Sejak itu, masjid tersebut tidak pernah diganggu lagi.

Itu adalah sepenggal kisah dari salah satu tradisi unik di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dahulu azan dengan cara demikian dilantunkan setiap hendak shalat lima waktu. Akan tetapi, tradisi tersebut pada saat ini hanya dilakukan pada momen shalat Jumat, yaitu azan pertama. n