Budaya

Jaringan, Cara Jejaka dan Gadis Pantura Indramayu Cari Jodoh di Malam Purnama

Ilustrasi (Lilis Sri Handayani)
Ilustrasi (Lilis Sri Handayani)

INDRAMAYU – Kabupaten Indramayu memiliki ragam tradisi yang berkembang di tengah masyarakatnya. Termasuk tradisi dalam mencari jodoh, yang dilakukan para pemuda dan pemudi.

Hal itu seperti yang terjadi di Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur. Di desa tersebut, terdapat tradisi jaringan. Yakni, ajang mencari jodoh di waktu malam terang bulan.

Saat purnama, para pemuda nelayan di desa tersebut memang biasa tidak melaut. Mereka pun berkumpul di alun-alun Kandanghaur, untuk mencari pasangan hidup.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sejarah Jaringan

Mengutip dari buku Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten Indramayu Tahun 2020, disebutkan, sejarah jaringan konon bermula dari kemarau panjang, sehingga membuat Pangeran Dryantaka membuatkan sumur sebagai sumber mata air.

Sumur tersebut dibuat di sebelah timur kantor Kawedanan Kandanghaur. Sumur itu bernama Temenggung, yang mengalirkan air yang tak putus-putus.

Para penduduk boleh mengambil air di sumur tersebut. Hal itulah yang akhirnya mempertemukan banyak jejaka dan gadis, yang mulanya sama-sama berniat mendapatkan air bersih. Dari situlah kemudian asal muasal jaringan.

Proses Jaringan

Para jejaka yang datang ke jaringan biasa memakai pakaian komboran hitam dan sarung yang diselempangkan atau dikerodongkan. Sedangkan para gadis, memakai kebaya, selendang dan bunga melati yang disuntingkan di telinga. Mereka berkumpul di alun-alun Kandanghaur, bahkan meluber sampai ke jalan raya.

Selanjutnya, tak hanya jejaka dan gadis yang datang, namun duda dan janda juga ikut serta. Masyarakat yang ingin melihat keramaian jaringan juga ikut datang.

Tahapan pada Jaringan

Para jejaka dan gadis yang bertemu di jaringan pun saling berkenalan. Selanjutnya, jejaka tersebut berkunjung ke rumah si gadis untuk lebih mengenalnya dan keluarganya, atau yang dikenal dengan istilah sanja.

Jika dirasa cocok, maka tahapan selanjutnya adalah pacangan atau melamar si gadis. Untuk itu, keluarga jejaka akan mengutus sesepuhnya untuk bertanya pada keluarga si gadis dengan pertanyaan, ‘’padang apa peteng’’ (terang atau gelap?

Jika jawabannya padang, berarti si gadis belum ada yang melamar. Namun jika jawabannya peteng, itu berarti si gadis sudah dilamar orang lain.

Dalam pacangan, jejaka akan meninggalkan tanda pengikat, misalnya cincin emas atau uang, untuk si gadis. Jika ternyata di kemudian hari jejaka melepas pengikat tersebut, maka tanda pengikat itu tetap menjadi milik si gadis. Sedangkan jika si gadis yang berkehendak melepasnya, maka si gadis harus mengembalikan tanda pengikat itu sekaligus membayar denda yang disepakati.

Namun saat ini, tradisi jaringan sudah tidak lagi dilakukan. Para jejaka dan gadis bisa berkenalan tanpa harus menunggu malam terang bulan. Apalagi, alat komunikasi saat ini sudah sedemikian canggihnya.

‘’Tahun 1970-an tradisi itu masih ada. Tahun 1980-an sudah mulai hilang hingga sekarang sudah tidak ada lagi,’’ tandas Sejarawan Indramayu, Supali Kasim, Sabtu (5/2/2022). N lilis sri handayani

Berita Terkait

Image

Di Tengah Mayoritas Jawa, Lima Desa di Indramayu Setia Berbahasa Sunda

Image

Di Indramayu Pernah Berdiri Kerajaan Manukrawa, Sejarah atau Legenda?

Image

Berdayakan Istri Nelayan Untuk Olah Limbah, Andalkan JNE Trucking Jangkau Pulau-pulau