Budaya

Di Tengah Mayoritas Jawa, Lima Desa di Indramayu Setia Berbahasa Sunda

Buku Bahasa Sunda. (Lilis Sri Handayani)

INDRAMAYU – Indonesia memiliki beragam bahasa daerah yang telah ada sejak negeri ini masih dikenal sebagai nusantara. Melintasi zaman hingga berabad-abad lamanya, bahasa daerah hingga kini tetap eksis menjadi bahasa keseharian masyarakat di daerahnya masing-masing.

Seperti bahasa Sunda contohnya. Bahasa itu dituturkan oleh masyarakat yang berada di Pulau Jawa bagian barat, terutama di Jawa Barat. Sebagian besar daerah di Jawa Barat selama ini menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian mereka.

Namun, adapula daerah di Jawa Barat yang tidak menggunakan bahasa Sunda dalam penuturan keseharian mereka. Salah satunya adalah Kabupaten Indramayu. Mayoritas masyarakat di pesisir pantau utara (pantura) itu selama ini menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa daerahnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Desa Berbahasa Sunda di Indramayu

Meski demikian, di tengah mayoritas masyarakat Indramayu yang berbahasa Jawa, tetap ada yang menggunakan bahasa Sunda. Dari 317 desa di Kabupaten Indramayu, ada lima desa yang keseharian masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda Lama.

Adapun lima desa itu, yakni Desa Lelea dan Tamansari, Kecamatan Lelea, serta Desa Parean Girang, Ilir dan Bulak di Kecamatan Kandanghaur. Kedua kecamatan tersebut letaknya saling berjauhan atau tidak bertetangga.

Sejarawan Indramayu, Supali Kasim, mengungkapkan, hal itu tidak terlepas dari keberadaan Sungai Cimanuk, yang melintasi Kabupaten Indramayu. Di masa lalu, sungai Cimanuk menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda (Pajajaran) dan Kerajaan Jawa (Majapahit). Hal itu didasarkan pada catatan Tom Pires, seorang pengelana dari Portugis, pada 1513.

Supali menilai, dominasi bahasa Jawa di tengah masyarakat Indramayu saat ini dipengaruhi oleh pergerakan orang-orang Jawa di masa lalu yang lebih masif. Karenanya, mereka menyebar ke banyak wilayah di Indramayu dengan membawa serta penggunaan bahasa Jawa dalam keseharian mereka.

‘’Saat itu masyarakat Sunda (terkonsentrasi) di lima desa tersebut,’’ kata Supali.

Perbedaan Bahasa Sunda di Jawa Barat dengan Sunda Parean

Supali menambahkan, meski hingga kini berbahasa Sunda, namun bahasa Sunda yang dituturkan oleh masyarakat di lima desa itu memiliki sejumlah perbedaan dengan bahasa Sunda yang dituturkan mayoritas masyarakat Sunda saat ini di Jawa Barat.

‘’Bahasa Sunda yang digunakan masyarakat di lima desa itu merupakan bahasa Sunda Lama,’’ terang Supali.

Supali menyebutkan, perbedaan mencolok itu di antaranya mengenai tidak adanya tingkatan dalam penggunaan bahasa Sunda Lama. Di dalam bahasa Sunda yang digunakan masyarakat Sunda di Jawa Barat, terdapat tingkatan halus (lemes) dan loma (akrab/kasar). Sedangkan dalam bahasa Sunda yang digunakan masyarakat di lima desa tersebut, tidak mengenal tingkatan.

‘’Sehingga kesannya kasar. Padahal karena memang tidak ada tingkatan bahasanya,’’ cetus Supali.

Selain itu, lanjut Supali, dalam bahasa Sunda Lama juga tidak ada penggunaan ‘eu’. Seperti misalnya kata ‘leuwi’ yang diucapkan orang Sunda, akan menjadi ‘lewi’ dalam bahasa Sunda Lama.

Tak hanya itu, merujuk laman petabahasa.kemendikbud.go.id, berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, perbedaan tersebut juga terletak pada dialeknya. Isolek Sunda di wilayah Jawa Barat terbagi ke dalam dua dialek. Yakni, dialek (h) dan non-(h).

Dialek (h) dituturkan hampir di seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat (kecuali wilayah pesisir utara), di antaranya Majalengka, Bogor, Tasikmalaya, Kuningan, Bekasi, Garut, Ciamis, Sukabumi, Subang, Purwakarta, Sumedang, Cianjur, Karawang, Bandung, Bandung Barat dan Cirebon.

Sedangkan dialek non-(h), dituturkan oleh masyarakat di Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Dialek itu tidak merealisasikan bunyi (h) di segala posisinya. Seperti contohnya, sa’a (Sunda Parean) – saha (Sunda di Jabar) -- siapa, po’o (Sunda Parean) – poho (Sunda di Jabar) – lupa.

Meski demikian, keragaman dialek maupun keragaman bahasa daerah di setiap daerah, menjadi kekayaan yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Siapapun, semestinya, bisa saling menghormati dan menghargai bahasa daerah yang ada di Indonesia. N lilis sri handayani

Berita Terkait

Image

Di Indramayu Pernah Berdiri Kerajaan Manukrawa, Sejarah atau Legenda?

Image

Jaringan, Cara Jejaka dan Gadis Pantura Indramayu Cari Jodoh di Malam Purnama

Image

Berdayakan Istri Nelayan Untuk Olah Limbah, Andalkan JNE Trucking Jangkau Pulau-pulau